Letusan Gunung Merapi Diperkirakan Bersifat Lelehan

JAKARTA, SIMBUR – Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Hanik Humaida mengatakan bahwa Gunung Merapi diperkirakan akan mengalami erupsi yang bersifat efusif atau lelehan. Perkiraan itu disampaikan setelah statusnya dinaikkan menjadi Level III atau ‘Siaga’ pada Kamis (5/11).

Menurutnya, letusan efusif yang dapat terjadi sewaktu-waktu itu akan memiliki kesamaan dengan erupsi tahun 2006. “Diperkirakan efusif, seperti erupsi tahun 2006,” jelas Hanik dalam diskusi bertajuk ‘Erupsi Merapi, Apa Yang Bisa Kita Lakukan’ melalui media daring, Minggu (29/11).

Lebih lanjut, Hanik menuturkan bahwa pada kondisi tersebut lantas tidak menutup kemungkinan akan terjadi erupsi yang bersifat eksplosif. Hanya saja, pihaknya memperkirakan bahwa apabila memang terjadi letusan eksplosif, maka tidak akan sebesar erupsi pada tahun 2010. “Kalau eksplosif itu tidak sebesar tahun 2010,” kata Hanik.

Adapun menurut Hanik, prediksi letusan bersifat efusif itu didapatkan berdasarkan sejumlah fakta temuan secara periodik, yang mana hingga sejauh ini tidak terpantau adanya indeks kegempaan vulkanik dalam.

Selain itu, berdasarkan data yang dihimpun dari pengamatan, gas yang dapat mempengaruhi pola erupsi telah terlepas secara berangsur-angsur dan pola kegempaan memiliki kesaman dengan pra erupsi pada tahun 2006. “Karena terjadinya kegempaan vulkanik dalam itu tidak ada (tidak terpantau alat),” jelas Hanik. “Tidak ada tekanan berlebih dari dapur magma. Pola kegempaan juga mirip 2006. Gas-gas terilis lebih dulu,” imbuhnya.

Hanik juga mengajak kepada seluruh masyarakat di wilayah Kawasan Rawan Bencana (KRB) III agar selalu waspada dan dapat memahami tentang fenomena alam yang kemudian akan memberikan pelajaran dan manfaat untuk ke depannya. “Biarkanlah merapi berekspresi. Kita sudah mengambil manfaat dari Merapi. Insha Alloh nanti manfaatnya kita dapatkan kembali,” pungkasnya.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang juga menjadi Keynote Speaker pada diskusi tersebut menilai bahwa meskipun perkiraan sementara bahwa erupsi Gunung Merapi akan bersifat efusif, namun dia tetap meminta seluruh komponen agar tetap siaga dan waspada, serta tidak kemudian menganggap remeh.

Sebab, erupsi Gunung Merapi pada periode sebelumnya telah memberikan pelajaran dan gambaran yang nyata tentang potensi dan ancaman bahayanya. “Dulu ada bunker bawah tanah, tapi nyatanya nggak kuat,” kata Ganjar.

Sejauh ini, Ganjar yakin bahwa masyarakat di lereng Gunung Merapi sudah lebih mengerti dan memahami apa yang harus dilakukan ketika terjadi erupsi. Di samping itu, dia juga percaya bahwa masyarakat lereng Gunung Merapi memiliki kearifan lokal tentang Early Warning System yang baik dan masih dipertahankan hingga saat ini. “Saya melihat ternyata kearifan lokalnya luar biasa, kentongannya hidup lagi. Early Warning System yang baik sekali. Masyarakat sudah sangat mengerti tentang kondisi Gunung Merapi dan apa yang harus segera mereka dilakukan,” imbuhnya.

Selanjutnya, Ganjar yang juga menjadi Ketua Umum PP KAGAMA juga meminta kepada segenap komponen dan pemerintah di daerah agar dapat menggunakan hasil monitoring BPPTKG terkait perkembangan aktivitas Gunung Merapi tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan berbasis pengurangan risiko bencana. “Kita perlu memberikan pikiran dan gambaran yang bersifat teknis, sehingga risiko bencana bisa kita kurangi,” pungkas Ganjar.

Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Kedeputian Bidang Pencegahan meminta kepada seluruh komponen agar mengatisipasi terhadap dampak La Nina dalam rangka memitigasi segala potensi ancaman bencana Gunung Merapi.

Sebagaimana berdasarkan prakiraan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), fenomena La Nina dapat memicu hujan lebat yang dapat disertai petir dan angin kencang di seluruh wilayah Indonesia pada Bulan Desember 2020 hingga Januari dan Februari 2021.

Terkait dengan Gunung Merapi, Deputi Bidang Pencegahan BNPB Lilik Kurniawan mengatakan bahwa fenomena La Nina tersebut kemudian dapat memicu banjir lahar dingin apabila hujan lebat dengan intensitas tinggi terjadi di sekitar puncak Gunung Merapi.

Material berupa pasir dan bebatuan dari sisa erupsi akan meluncur melalui hulu sungai dan mengalir melewati wilayah lereng gunung yang menjadi kawasan permukiman penduduk. Sehingga hal itu harus menjadi catatan dan antisipasi dari upaya mitigasi kebencanaan Gunung Merapi.

“Apabila nanti ada erupsi, kemudian material (sisa erupsi) itu ada di badan-badan sungai yang berhulu di Merapi, maka kita wajib dan harus memasukkan ancaman banjir lahar dingin ini menjadi bagian dari upaya pencegahan maupun mitigasi,” kata Lilik, Minggu (29/11).

Lebih lanjut, apa yang disampaikan Lilik juga merujuk kepada catatan sejarah tentang erupsi Gunung Merapi 2010, di mana banjir lahar dingin terjadi pascaerupsi dan kemudian merusak banyak rumah milik warga yang berada di wilayah lereng dan hilir sungai.

“Pada tahun 2010 di mana Kali Code sempat meluap, kemudian Gajahwong juga meluap dan Krasak kembali kepada aliran awalnya yang banyak merusak rumah-rumah masyarakat yang berada di sekitar Magelang,” kata Lilik.

Selanjutnya Lilik juga meminta agar seluruh komponen yang terlibat dalam mitigasi kebencanaan Gunung Merapi dapat melihat lebih jauh melalui overlay data dan analisa, tidak hanya merujuk pada catatan kerawanan dari sisi erupsinya saja. Sehingga cakupan mitigasi menjadi lebih luas dan dampak risiko bencana dapat dikurangi dengan sebaik mungkin.

“Tidak cukup sebenarnya identifikasi itu hanya membuat peta rawan erupsi merapi saja, yang ada KRB I, II dan III. Tetapi dari KRB itu kita juga harus overlap-overlay kan dengan sebaran permukiman, dengan masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Merapi,” jelas Lilik.

Berdasarkan data yang dihimpun BNPB, wilayah berisiko terdampak erupsi Gunung Merapi yang masuk dalam KRB III adalah Dusun Kalitengah Lor di Desa Glagaharjo, Dusun Kaliadem di Desa Kepuharjo dan Dusun Palemsari di Desa Umbulharjo yang berada di wilayah administrasi Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.

Kemudian Dusun Batur Ngisor, Gemer, Ngandong, Karanganyar di Desa Ngargomulyo, Dusun Trayem, Pugeran, Trono di Desa Krinjing, Babadan 1, Babadan 2 di Desa Paten, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Berikutnya Dusun Stabelan, Takeran, Belang di Desa Tlogolele, Dusun Sumber, Bakalan, Bangunsari, Klakah Nduwur di Desa Klakah dan Dusun Jarak, Sepi di Desa Jrakah, Kecamatan Selo di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.

Selanjutnya Dusun Pajekan, Canguk, Sumur di Desa Tegal Mulyo, Dusun Petung, Kembangan, Deles di Desa Sidorejo dan Dusun Sambungrejo, Ngipiksari, Gondang di Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.(red)